Kolom

Krisis Komunikasi Kebencanaan 

Photo : Fb Lutfi Subagio

“Jangan lagi membagikan foto-foto penderitaan dan cerita yang tidak jelas asal muasalnya. Konsentrasi pada sikap optimis dan mencarikan solusi pada tiap masalah di lapangan.”

DUA BENCANA yang susul menyusul Lombok dan Palu membuktikan bahwa tata informasi kita memang mengkhawatirkan, dan menjadi lebih mengkhawatirkan saat pemerintah tidak punya pemahaman tentang apa yang terjadi di lapangan dan sikap mental korban bencana. 

Mendagri Tjahjo Kumolo yang kemudian di benarkan oleh Wiranto menyatakan pemerintah akan membayar ‘penjarahan’ yang dilakukan warga. Efeknya sungguh buruk, semua toko kemudian dibuka paksa untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan.

Dalam skala bencana sebesar itu, dan kondisi panik yang melingkupi, penjarahan itu memang ‘bisa dimaklumkan’. Karena orang kehilangan harapan. Namun ‘pembenaran’ penjarahan itu tetap tidak dibenarkan, karena menjadi efek simultan atas pernyataan yang tidak awas tersebut.

Tak hanya toko yang dijarah, bahkan truk pembawa bantuan dan air tidak pernah sampai di tujuannya, karena habis di jalan. “Biarlah, kami akan tetap kirim dan memperbaiki tata kelola pengiriman bantuan,” kata Ketua BNPB, yang tentu lebih ‘kontektual dan baik’ dari dua menteri diatas.

Saat bencana terjadi, sejurus bencana yang sama juga terjadi dalam lingkup komunikasi yang mengikutinya. Saat listrik mati dan komunikasi tidak berdaya, pangan dan air langka, maka ‘People is the King’, maka ‘homo hominilupus’ ; manusia menjadi serigala bagi manusia lain.

Rusaknya lagi, banyak manusia yang waras diluar episentrum bencana ini menambah kekacauan. Mereka mencoba mengoplod semua, dengan pola bahwa informasi itu benar. Sosok khotib masjid yang selamat di Lombok, jadi muncul lagi di Palu, persis kayak bintang film. Padahal ini uplod yang salah. Dan ironisnya, yang foto-foto, kabar duka dan kengerian itu muncul secara vulgar.

Bandingkan cara pikir Jepang ini. Saat terjadi bencana besar, semua media TV maupun radio, berubah fungsi menjadi pentunjuk keselamatan, mereka menjadi guide; apa yang harus dilakukan korban bencana. Radio yang punya modulasi AM masih bisa diterima oleh radio partabel karena sifat frekwensinya yang panjang.

Contoh saat 11 Maret 2011, Tsunami akibat gempa maha dahsyat 9.0 melanda Jepang dan dinyatakan 15.269 tewas dan 8.526 lainnya hilang, meskipun diyakini jumlah korban sesuangguhnya jauh lebih tinggi. Dan menjadi gempa terbesar yang mengguncang Jepang sepanjang sejarah dalam 1.200 tahun terakhir.

Maka sejak terjadi bencana, semua saluran televisi mengulang-ulang siaran bencana itu, sambil terus melakukan koordinasi, misalnya seperti TV dan Radio memberitahukan, siapa saja yang bisa dihubungi dan mengarahkan pemerintah kepada masyarakat yang panik untuk berangsur-angsur mendapatkan kepercayaan dirinya.

TV lantas membuat diagram-diargam yang mudah dipahami untuk dipertontonkan di TV tentang apa saja yang harus dilakukan, misalnya jika kehilangan anggota keluarga atau apapun. Pendeknya hiburan berubah drastis menjadi guide saat krisis terjadi.

Disini masyarakat lebih suka dan lebih percaya pada Medsos yang justru tidak terferifikasi. Karena itu, penting mencari sumber terpercaya sebelum diunggah ke Medsos, agar tidak menimbulkan banyak prasangka dan kepanikan.

Belum lagi, belum merasa bencana kalau belum ada foto korban. “Please lah, jika yang meninggal itu keluarga kita, kita tak mungkin rela ia difoto dalam kondisi itu.” Di Jepang ini tidak terjadi. Saya hanya melihat satu koran yang memasang foto tangan terkulai di balik reruntuhan. Itupun sudah terasa menyesakkan.

Saya ingat kata-kata pak Dahlan Iskan, apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana. “Cerita sekecil apapun, kalau itu menghidupkan harapan, tulis!, mereka perlu semangat. ” katamnya.

Pendeknya pendekatan optimistik pasca bencana itu perlu digalakkan sedemian rupa. Sehingga hidup tetap harus berlanjut untuk esok. Tentu saja untuk yang hidup.
 

Oleh : Lutfi Subagio


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar